Sampai saat ini, Indonesia masih sangat kekurangan dokter ahli bedah.
Dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa, dokter ahli bedah yang dimiliki
baru 120 orang atau rasionya 1 : 2 juta. Artinya, satu orang dokter
bedah harus melayani 2 juta penduduk.
Dari jumlah yang sedikit
itu, Prof dr Eka Julianta Wahyoepramono adalah salah satunya.
Spesialisasinya pada ahli bedah syaraf (neurosurgeon), khususnya bedah
batang otak, tentu saja membuat dr Eka Julianto makin menjadi orang
dengan profesi yang langka di negeri ini.
Sebagai ahli bedah
syaraf, nama dr Eka Julianta tak diragukan lagi. Reputasinya tidak
hanya di tingkat nasional, tetapi sudah mendunia. Misalnya, dia adalah
visiting professor di Harvard
University Medical School. Prestasi ini sampai saat ini belum bisa disamai oleh dokter-dokter Indonesia lainnya.
Alasan
seperti itulah yang membuat Pitan Daslani kemudian menuliskan
biografi dr Eka Julianta. Buku yang diberi judul Tinta Emas di Kanvas
Dunia itu diluncurkan di Toko Buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur.
Kenapa
diberi judul "Tinta Emas"? Bukankah sebagai dokter bedah mestinya dr
Eka biasa memegang pisau dan peralatan-peralatan bedah lainnya?
Rupanya Pitan punya alasan sendiri. "Dokter Eka telah menorehkan tinta
emas dalam sejarah kedokteran, ketika untuk pertama kalinya dokter
Indonesia dijadikan sebagai referensi bagi dokter dan mahasiswa
kedokteran di seluruh dunia," katanya.
Dr Eka Julianta Wahjoepramono adalah satu-satunya dokter yang mendapat rekor dari Museum Rekor Indonesia.
Ia
tercatat sebagai dokter pertama dan satu-satunya di Indonesia yang
berhasil membedah batang otak pasien. Sukses ini juga yang melambungkan
namanya ke kancah internasional, dan disegani dokter-dokter bedah
saraf dunia.
"Saat ini juga, Dokter Eka saya nyatakan
dicatatkan di rekor Muri, karena prestasinya berhasil membedah batang
otak," ujar pendiri Muri Jaya Suprana saat peluncuran buku biografi Dr
Eka berjudul Tinta Emas di Kanvas Dunia di Toko Buku Gramedia,
Matraman, Jakarta Timur.
Menurut Jaya Suprana, yang juga pemilik
perusahaan Jamu Jago Indonesia, prestasi Dr Eka luar biasa.
"Sepengetahuan saya, batang otak tidak boleh diutak-atik. Tabu. Saking
tabunya, batang otak disebut urusan Tuhan. kalau Dokter Eka menjadi
bisa mengutak-atik batang otak, berardi anda ini sudah bagian dari
Tuhan," kata Jaya, yang dikenal sebagai pemusik dan suka melawak.
Penulis
Buki Tinta Emas di Kanvas Dunia , Pitan Daslani mengatakan, sudah
mengecek se-Asia, sejauh ini, baru Dr Eka yang pertama dan berhasil
membedah batang otak.
Prestasi membedah otak berawal 20 Februari
2001. Ketika itu, Ardiansyah, warga Merak, Banten, datang dalam
kondisi kritis. Buruh nelayan berusia sektiar 20 tahun itu datang
dalam kondisi saraf-saraf lumpuh, kaki dan tangan lumpuh, mata pun
melotot, napas tersengal-sengal. Setelah didiagnosa, Ardiansyah ini
terkena tumor kavernoma yang telah pecah di pons atau batang otak.
"Saat
itu, dunia termasuk dokter bedah saraf pun belum berani mengutak-atik
batang otak. Karena kalau salah sedikit, pasti mati atau lumpuh. Tapi
karena pilihannya mati atau hidup, saya beranikan diri membedah
batang otak Pak Ardiansyah ini," ujar Dr Eka sambil menunjuk
Ardiansyah yang berdiri di sampingnya.
Ardiansyah soerang yatim
piatu. Saat itu dia datang diantar seorang kakaknya. Dalam peluncuran
buku kemarin, ia juga memberi kesaksian. "Saya sudah pasrah, karena
sakitnya. Alhamdulillah, dokter Eka ini dapat merawat. Saya ucapkan
terima kasih," ujar Ardiansyah.
Selain Ardiansyah, ada lagi
pasien miskin, Jumiati. Mahmud, suaminya, kepala sekolah swasta di
Cengkareng, Jakarta Barat. Untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga,
Mahmud bekerja sambilan sebagai pemulung sampah. Operasi Ardiansyah
dan Jumiati dilayani Dr Eka secara cuma-cuma di RS Siloam.
Bedah
buku dipandu presenter Kick Andi, Andi F Noyo dengan pembicara Dr
Eka, pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana, dan penulis
buku Pitan Daslani. Sejumlah pasien yang berhasil diselamatkan hadir
dan memberi kesaksian, keluarga mantan pasien yang gagal operasi dan
meninggal pun tetap memuji karya dokter Eka.
Pasien lainnya,
anggota TNI Angkatan Udara Kolonel Budi Laksono, mengatakan
kesalutannya akan keberhasilan Dr Eka memulihkan kondisi kesehatannya
dari serangan stroke. "Saya sudah 10 tahun menderita stroke. Dulu saya
pilot TNI AU untuk pesawat Falcon-15 (F-15) dan F-16, dan Hercules.
Walau tidak bisa lagi bermain-main di udara, saya bersyukur karena bisa
karena bisa aktif di TNI AU sebai staf," ujar Budi.
Pujian
lainnya dikemukakan Ny Lana Sarwono, janda Sarwono gagal saat mengalami
operasi kedua kali. "Semula, saya mengalami pergulatan batin, mengapa
Dokter Eka gagal menyelamatkan suami saya. Tetapi akhirnya saya dapat
menerima, inilah takdir dari Tuhan dan saya mengikhlaskan suami saya
pergi," kata Lana, sebelum menerima buku biografi Dr Eka berjudul
Tinta Emas di Kanvas Dunia.
Lana melanjutkan, di balik kegagalan
operasi otak suaminya, masih ada hikmah. Lana menandaskan, "Saya
berharap kiranya Dokter Eka dapat menyelamatkan lebih banyak, ratusan
bahkan ribuan orang penderita otak."
2. Prof. dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D.,
Guru
Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) menerima
penghargaan internasional sebagai dokter spesialis anak terbaik dari
Asosiasi Dokter Anak Asia-Pasifik atau APPA. Penghargaan Outstanding
Asian Pediatric Award tersebut diterimanya akibat prestasi-prestasinya
yang dianggap menonjol dalam penelitian mengenai penyakit diare pada
anak selama tiga tahun terakhir. Penghargaan diberikan dalam konferensi
APPA di Shanghai, China, yang berlangsung pada tanggal 4 – 18 Oktober
2009.
Penghargaan Outstanding Asian Pediatric Award sendiri
diberikan setiap tiga tahun sekali. Pada tahun ini, Prof. dr. Sri
Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D. menjadi salah satu dari 12 dokter anak yang
menerima penghargaan. Dan mereka pun telah dipilih dari 2.500 dokter
anak se-Asia Pasifik.
Penghargaan tersebut merupakan buah dari
perjuangannya selama 40 tahun dalam meneliti penyakit diare pada anak.
Bersama Prof. Ruth Bishop dari Australia, ia meneliti infeksi yang
disebabkan oleh rotavirus pada penderita diare di Indonesia. Penelitian
ini menemukan hasil yang mengejutkan bahwa ternyata rotavirus lah
yang menjadi penyebab utama penyakit diare di Indonesia.
Ia
mengatakan sebagian besar bayi penderita diare yang disebabkan
rotavirus memiliki kualitas hidup yang rendah. Bayi mengalami muntah
secara terus-menerus, berak air, dan susah mengonsumsi makanan. Usus
halusnya pun tak dapat berfungsi dengan baik.
Hasil penelitian tersebut pada akhirnya mengubah terapi pengobatan
Penemuan
ini mengubah terapi pengobatan diare yang sebelumnya lebih banyak
menggunakan antibiotik. Hasil penemuan tersebut pada akhirnya mendorong
Pemerintah Indonesia untuk memproduksi vaksin rotavirus dengan harga
yang cukup murah. Sebab, vaksin diare yang ada selama ini relatif
mahal. Bekerja sama dengan Melbourne University dan PT Biofarma, vaksin
tersebut direncanakan akan dipasarkan mulai tahun 2012 di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar