21 September 2012

cerita *copast

"Kematian adalah hal yang wajar bagi manusia. Karena itu adalah tanda, bahwa 'sentilan' Allah masih bisa kita rasakan. Takut untuk mati tidak ada gunanya. Mati adalah nasib yang harus kamu lalui. Yang sudah ditentukan oleh sunatullah. Takut mati itu, lebih buruk dari mati itu sendiri
Itulah yang dipelajari oleh Iqbal. Teman sebangkuku. Ya, dia benar. takut mati memang lebih buruk dari kematian itu sendiri. Tapi aku tetap bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus diam menunggu ajal? Atau melakukan hal yang tersisa dari rasa sakitku ini?

Sudah dua bulan aku menderita kanker otak. Sekolah pun sudah sangat berat bagiku. Mungkin dua minggu lagi aku sudah tiada. Tapi aku masih punya banyak impian yang ingin aku wujudkan. Mungkin setelah itu aku bisa pergi dengan tenang.

Dua hari lagi akan ada acara baksos di desa. Aku lupa nama desanya. Teman-teman SKI telah menunjukku sebagai koordinator lapangan. Mereka percaya padaku aku bisa melakukannya. Untuk catatan, mereka belum tahu kalau aku mengidap kanker otak.

* * *

Dua hari kemudian...
Ini sudah harinya. Kami telah mempersiapkan semua. Mulai dari transportasi, logistik, perlengkapan, kamera, dan yang pasti barang-barang dan uang sukarela untuk disumbangkan. Kami berangkat menggunakan sepeda motor masing-masing karena desanya tidak terlalu jauh dari sekolah. Gusti dengan Siska, Puput dengan Vero, Si kembar Dzaky dan Hasan tetap bersama dan aku sendiri dengan Nora. Orang yang sudah aku sukai sejak aku sekelas dengannya saat duduk di bangku SMP kelas IX.

Di perjalanan, aku dan Nora saling bersenda gurau. Nora memang sangat akrab dengan semua kalangan. Bahkan dulu dia pernah dicopet oleh anak kecil saat naik mikrolet untuk pulang. Si anak kecil ketahuan dan hampir dihajar massa. Tetapi dia malah melindunginya dan memberikan uang lima puluh ribuan.

Aku terus melihat senyumnya yang manis dari kaca spion. Sungguh sangat menawan. Anak berkerudung yang sangat manis dan memiliki hati yang mulia. Tapi itu akan tetap kupendam. Dia pun belum tentu menyukaiku.

* * *

Keluar dari pikiran bodoh itu, kita sudah sampai. Kami mulai meminta ijin kepada kepala desa setempat untuk membagikan baju-baju tidak terpakai dan lain sebagainya. Banyak yang berdatangan. Warga pun antusias. Bahkan anak-anak kecil pun saling berebut. Untungnya tidak ada kericuhan. Dan yang paling penting semua mendapat bagiannya masing-masing. Tetapi ada satu anak kecil yang meminta kepadaku "Kak, minta sandalnya kak." minta anak kecil tersebut. Aku melihat sandal jepitnya. Ternyata dia memakai sandal yang sudah rusak. Dan barang-barang pun sudah habis. Tak habis akal, aku segera mengeluarkan uang dua puluh ribuan.
"Terima kasih kak." tanggap anak itu. "Iya, sama-sama dek." Aku balas dengan senyuman.
Hatiku terenyuh. Masih banyak anak-anak bangsa yang belum beruntung. Sebetulnya aku ingin banyak membantu, tapi apa daya fisikku tidak bisa menerima beban yang lebih dari ini.

Aku jadi ingat pesan Ayah, "Carpe Diem!" Untuk pertama kali ayah mengatakan hal yang asing bagiku. Aku tidak tahu itu dari bahasa planet mana. Tanpa pikir panjang aku pun bertanya apa maknanya.
"Carpe diem, quam minimum credula postero." Aku makin bingung.
Beliau melanjutkan, "Artinya, petiklah hari, dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok."

"Hei! ngelamun aja." Nora mengagetiku. Aku langsung tersadar dan kembali melihat senyum manisnya.
"Pulang yuk, udah mau sore nih." ajak Nora. "Oke." tanggapku cepat.
Ini benar-benar hari yang menyenangkan dan bersejarah. aku tidak akan pernah melupakan hari ini.

* * *

1 bulan kemudian...
"Nor! Nora! ada berita duka!" gegas Vero sambil menangis.
"Ada apa Ver?" Nora mulai panik.
"Dia... meninggal." tanpa berkata apa-apa lagi Vero langsung memberi memo kecil kepada Nora.

Untuk Nora,

Hai Nora, maaf aku tidak menceritakan soal penyakitku ini.
Aku telah mengidap kanker otak selama dua bulan lebih.
Dan sebenarnya aku sudah divonis oleh dokter beberapa hari yang lalu bahwa aku akan meninggal beberapa hari yang lalu.
Tapi aku tetap berjuang untuk memetik hari-hari terakhirku.
Itu semua tak lepas dari motivasi yang kamu berikan.
Terima kasih untuk semuanya. Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku sudah tiada.
Tapi perlu kamu tahu, bahwa aku tetap menyukaimu. Bahkan sejak kita masih duduk di bangku SMP.
Sekali lagi terima kasih. Salam untuk anak-anak yang lain.
Aku masih ingat pesan yang kamu berikan kepadaku.
"Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain."

Salamku, Ali

Nora pun tidak bisa berkata apa-apa. Hanya tangis yang terdengar dari dirinya. Kematian memang tidak bisa kita sadari. Tetapi, itu semua tidak terlalu penting jika kita tetap memulai hal-hal baru terus berusaha optimal setiap harinya, seperti tidak akan ada hari esok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar